Permintaan produk consumer goods per Februari 2016 anjlok 9,6% dibanding periode yang sama tahun lalu, mengindikasikan konsumen masih tetap menahan pembelian. Menurut analisis lembaga riset Kantar Wordpanel Indonesia, volume penjualan consumer goods turun 9,6%, sementara secara nilai anjlok 6,3%, meski harga per unit naik 4%.
Pasar produk consumer goods pada 12 minggu hingga akhir Februari 2016 belum mampu bangkit, seiring perlambatan ekonomi nasional yang memukul daya beli konsumen. Pelemahan demand produk consumer goods secara volume menjadi yang terburuk dalam delapan kuartal terakhir, menandakan tekanan berat bagi produsen.
Penjualan produk makanan anjlok 15,2% secara volume dan turun 7,9% secara nilai per akhir Februari 2016. Demikian juga produk dairy yang melemah 4,2% secara volume dan turun 4,5% secara nilai. Penjualan produk minuman juga turun 6,3% secara volume, dan anjlok 8% secara nilai. Penjualan produk home care turun 7,1% secara nilai dan anjlok 4,4% secara nilai. Penjualan produk personal care turun 7,5% secara volume dan anjlok 4,3% secara nilai.
Seluruh kategori produk consumer goods menderita pertumbuhan negatif per Februari 2016 mengindikasikan tekanan berat dialami daya beli konsumen. Tren negatif ini mesti diwaspadai oleh seluruh produsen consumer goods agar tidak terjebak pada kemerosotan penjualan yang berimplikasi negatif terhadap cash flow perusahaan.
Dilihat dari tren makro ekonomi, inflasi pada Februari 2016 naik menjadi 4,42% dari inflasi Januari sebesar 4,14%. Perekonomian Indonesia tumbuh 5,04% pada kuartal IV 2015, sedikit di atas ekspektasi 4,91%. Sementara nilai mata uang rupiah menguat sekitar 3% pada Februari 2016 di level Rp 13.583/US$ dibanding bulan sebelumnya.
Fast moving consumer goods mencakup barang-barang konsumsi yang dibutuhkan sehari-hari atau dibutuhkan secara berkala dalam periode waktu tertentu yang singkat. Barang konsumsi jenis itu mencakup produk-produk makanan (food), peralatan rumah tangga (household), dan perawatan tubuh (personal care). Berbeda dengan barang tahan lama (durable goods), barang-barang fast moving consumer goods memiliki umur simpan yang singkat, baik sebagai akibat dari permintaan konsumen tinggi maupun karena produk yang cepat rusak.
Pasar FMCG di Indonesia tumbuh rata-rata per tahun (compounded annual growth rate/CAGR) sebesar 16,6% periode 2004-2010, di tengah fluktuasi inflasi yang dapat menahan maupun menggerus daya beli masyarakat. Sementara periode 2011 hingga saat ini, pertumbuhan pasar diperkirakan sekitar 13%. Namun, tekanan berat yang dihadapi konsumen mengubah tren pasar pada 2015-2016.(*)
Sumber: di sini
Senin, 18 April 2016
Rabu, 06 April 2016
Omzet Industri Kecap Rp 7,1 Triliun, Bumbu Masak Rp 7,2 Triliun
Industri kecap dan bumbu masak meski dianggap sepele, namun menawarkan omzet yang begitu fantastis. Lihat saja, menurut data Kementerian Perindustrian, saat ini terdapat 94 unit usaha industri kecap dan 56 unit usaha bumbu masak skala menengah-besar.
“Nilai produksi kecap Rp 7,1 triliun dan untuk bumbu Rp 7,2 triliun pada tahun 2014 sehingga totalnya menjadi Rp 14,3 triliun,” kata Menteri Perindustrian Saleh Husin.
Pasar industri consumer goods (barang konsumsi harian/fast moving consumer goods) di indonesia memang besar, ditopang jumlah penduduk 250 juta jiwa dan pertumbuhan konsumen kelas menengah yang pesat. Dari industri consumer goods, ternyata industri kecap dan bumbu masak memiliki nilai pasar yang cukup besar.
Tercatat, serapan tenaga kerja industri kecap sebesar 8.500 orang dan industri bumbu masak 9.700 orang. Sedangkan untuk produk savoury (non MSG) pasarnya tumbuh sekitar sembilan hingga sepuluh persen.
Saat ini, terdapat pabrik kecap dan bumbu milik Unilever Indonesia yang berkapasitas 330 ribu ton per tahun. Nilai investasi mencapai Rp 820 miliar dan dibangun sejak 2013. Pemerintah berharap berdirinya pabrik ini dapat mendukung pertumbuhan industri makanan dan minuman Indonesia.
Saleh mengapresiasi ekspansi Unilever sebagai pembuktian komitmen untuk meningkatkan nilai investasi dan menangkap peluang kebutuhan kecap dan bumbu masak instan. “Kami akan terus meningkatkan investasi dan bekerja sama dengan petani Indonesia dalam memproduksi bahan baku,” kata Unilever Global Chief Supply Chain Officer, Pier Luigi Sigismond.
Tahun ini, Unilever menyiapkan investasi sebesar Rp 1,2 triliun, termasuk untuk pabrik kecap ini. Unilever juga akan membangun industri oleokimia di Kawasan Industri Kuala Tanjung-Sei Mangke di Sumatra Utara. “Investasi yang disiapkan sebesar Rp 2 triliun,” kata Director of Goverment and Corporate Affairs Unilever Indonesia, Sancoyo Antarikso.
Nilai pasar industri (market industrial size) kecap di Indonesia mengalami pertumbuhan yang pesat. Pada 2001, nilai pasar industri kecap baru mencapai Rp 1,6 triliun dan naik signifikan menjadi Rp 3 triliun pada 2005. Angka tersebut meningkat lagi lebih dari dua kali lipat pada 2014 menjadi Rp 7,1 triliun.
Menurut lembaga riset pasar Euromonitor International, PT Heinz ABC Indonesia, PMA asal Amerika Serikat, menguasai 40% dari pasar kecap di Indonesia pada 2001 sebesar Rp 1,6 triliun. Namun, pada 2005, posisinya menurun hingga 33% dari total pasar yang mencapai Rp 3 triliun.
Heinz dengan kecap manis ABC merupakan penguasa pasar kecap di Indonesia, yang bersaing ketat dengan Unilever yang mengusung merek Bango. Pangsa pasar kecap Bango tetap stabil selama 2001-2005 sebesar 32%.
Kecap manis ABC sebetulnya bukan pemain baru di industri kecap nasional. Februari 1999, saham mayoritas pendiri kecap yang terdiri atas tujuh varian ini dibeli oleh HJ Heinz Co, perusahaan kecap yang berpusat di Pittsburg, Amerika Serikat. Tak lama kemudian, nama perusahaan pun berubah menjadi PT Heinz ABC Indonesia.
Lewat bendera barunya, kecap ABC mengalami perubahan teknologi informasi, proses pembuatan, dan jaringan pasar internasional. Hasilnya, angka penjualan tahunan kecap ABC dunia tak bergeser dari US$ 100 juta atau Rp 897 miliar, dengan kontribusi utama dari Indonesia.
Tak mau kalah, Unilever Indonesia pun mengakuisisi produk Kecap Bango pada 2001. Di tangan perusahaan multinasional ini, Kecap Bango tumbuh pesat lewat pemasaran modern. Kini, penjualan tahunannya diperkirakan Rp 500 miliar. Kecap Bango pun melebarkan sayap hingga ke Asia Tenggara dan Arab Saudi.(*)
Sumber: di sini
“Nilai produksi kecap Rp 7,1 triliun dan untuk bumbu Rp 7,2 triliun pada tahun 2014 sehingga totalnya menjadi Rp 14,3 triliun,” kata Menteri Perindustrian Saleh Husin.
Pasar industri consumer goods (barang konsumsi harian/fast moving consumer goods) di indonesia memang besar, ditopang jumlah penduduk 250 juta jiwa dan pertumbuhan konsumen kelas menengah yang pesat. Dari industri consumer goods, ternyata industri kecap dan bumbu masak memiliki nilai pasar yang cukup besar.
Tercatat, serapan tenaga kerja industri kecap sebesar 8.500 orang dan industri bumbu masak 9.700 orang. Sedangkan untuk produk savoury (non MSG) pasarnya tumbuh sekitar sembilan hingga sepuluh persen.
Saat ini, terdapat pabrik kecap dan bumbu milik Unilever Indonesia yang berkapasitas 330 ribu ton per tahun. Nilai investasi mencapai Rp 820 miliar dan dibangun sejak 2013. Pemerintah berharap berdirinya pabrik ini dapat mendukung pertumbuhan industri makanan dan minuman Indonesia.
Saleh mengapresiasi ekspansi Unilever sebagai pembuktian komitmen untuk meningkatkan nilai investasi dan menangkap peluang kebutuhan kecap dan bumbu masak instan. “Kami akan terus meningkatkan investasi dan bekerja sama dengan petani Indonesia dalam memproduksi bahan baku,” kata Unilever Global Chief Supply Chain Officer, Pier Luigi Sigismond.
Tahun ini, Unilever menyiapkan investasi sebesar Rp 1,2 triliun, termasuk untuk pabrik kecap ini. Unilever juga akan membangun industri oleokimia di Kawasan Industri Kuala Tanjung-Sei Mangke di Sumatra Utara. “Investasi yang disiapkan sebesar Rp 2 triliun,” kata Director of Goverment and Corporate Affairs Unilever Indonesia, Sancoyo Antarikso.
Nilai pasar industri (market industrial size) kecap di Indonesia mengalami pertumbuhan yang pesat. Pada 2001, nilai pasar industri kecap baru mencapai Rp 1,6 triliun dan naik signifikan menjadi Rp 3 triliun pada 2005. Angka tersebut meningkat lagi lebih dari dua kali lipat pada 2014 menjadi Rp 7,1 triliun.
Menurut lembaga riset pasar Euromonitor International, PT Heinz ABC Indonesia, PMA asal Amerika Serikat, menguasai 40% dari pasar kecap di Indonesia pada 2001 sebesar Rp 1,6 triliun. Namun, pada 2005, posisinya menurun hingga 33% dari total pasar yang mencapai Rp 3 triliun.
Heinz dengan kecap manis ABC merupakan penguasa pasar kecap di Indonesia, yang bersaing ketat dengan Unilever yang mengusung merek Bango. Pangsa pasar kecap Bango tetap stabil selama 2001-2005 sebesar 32%.
Kecap manis ABC sebetulnya bukan pemain baru di industri kecap nasional. Februari 1999, saham mayoritas pendiri kecap yang terdiri atas tujuh varian ini dibeli oleh HJ Heinz Co, perusahaan kecap yang berpusat di Pittsburg, Amerika Serikat. Tak lama kemudian, nama perusahaan pun berubah menjadi PT Heinz ABC Indonesia.
Lewat bendera barunya, kecap ABC mengalami perubahan teknologi informasi, proses pembuatan, dan jaringan pasar internasional. Hasilnya, angka penjualan tahunan kecap ABC dunia tak bergeser dari US$ 100 juta atau Rp 897 miliar, dengan kontribusi utama dari Indonesia.
Tak mau kalah, Unilever Indonesia pun mengakuisisi produk Kecap Bango pada 2001. Di tangan perusahaan multinasional ini, Kecap Bango tumbuh pesat lewat pemasaran modern. Kini, penjualan tahunannya diperkirakan Rp 500 miliar. Kecap Bango pun melebarkan sayap hingga ke Asia Tenggara dan Arab Saudi.(*)
Sumber: di sini
Langganan:
Postingan (Atom)